Kisah Tiga Sahabat, Baca Cerpen Di Balik Runtuh

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Ada tiga remaja bernama Dika, Awan, dan Ezra, yang mempunyai mimpi setinggi langit, tetapi berjuang saja hampir tak pernah. Mereka ingin menjadi pelukis terkenal, punya galeri sendiri yang isinya terpajang karya-karya mereka dan membuat semua orang dari seluruh penjuru dunia terpukau. Mereka sangat ingin melakukan sesuatu untuk tanah air tercinta. Namun sayangnya, itu masih angan-angan saja.

“Hei, Awan. Tidak pernahkah kau berpikir untuk mulai berusaha ?” Tegur Dika si pintar pada Awan yang sedang memperbaiki dandanannya. Awan berhenti dan menoleh ke arah Dika. “Dulu pernah. Namun, kenapa tiba-tiba kata-katamu jadi keren begini ?” Jawab Awan sambil tertawa kecil dan kembali ke dandanannya.

“Sebenarnya, aku lagi kepikiran soal itu beberapa hari ini.” Sela Ezra yang sedang membaca buku dan bersandar pada jendela.

“Kalian kenapa sih tiba-tiba? Kok hidayahnya cuma ke kalian saja sih sampainya? Nggak adil banget”, keluh Awan yang tadinya ceria-ceria saja seketika berubah menjadi cemberut. “Ya makanya kita bilang ini ke kamu. Siapa tau, kamu berubah pikiran, ya kan, Ra ?” Ezra manggut-manggut sembari menutup bukunya dan menatap Awan menunggu jawabannya.

“Iya deh, iya.”

Dika dan Ezra terkagetkan dengan jawaban Awan. Si keras kepala itu setuju? Yang benar saja. Ini suatu keajaiban! Keduanya tercengang dan saling menatap satu sama lain mencoba memproses apa yang telah terjadi.

“Kalian ga seneng aku setuju?”“E-Eh? Bukan begitu astaga. Kita kaget tahu”, jawab Dika dengan terbata-bata.“Ya sudah kalau begitu. Nanti malam, kita ke rumah Dika untuk diskusi, setuju?” Ucap Awan membereskan barang-barangnya dan bergegas ke kelas tanpa menunggu jawaban Dika dan Ezra.


Seperti biasa, Awan terlambat. Padahal, dia yang membuat janji. Ezra dan Dika sudah menunggu sekitar tiga puluh menit di ruang tamu. Awan datang dengan perasaan tak bersalah sama sekali. Keduanya hanya pasrah.“Halo, semuanya”, sapa Awan dengan mata berbinar.“Akhirnya”, gumam keduanya sambil menghela napas.“Ayo kita mulai diskusinya.” Awan mulai mendekati sofa dan duduk seolah-olah rumah Dika adalah rumahnya sendiri.“Langkah awalnya harus bagaimana?”.“Karena kita masih sering ikut ekstrakulikuler seni di sekolah, jadi bakat kita tetap terasah walaupun hanya sedikit. Jadi ya masih aman-aman saja”.“Kita sebaiknya bikin karyanya saja dulu. Tentang galerinya, coba kita tanya pada bapak kepala sekolah. Dia mungkin bisa bantu.”“Ide bagus tuh”.Tanpa disadari, diskusi seru nan serius pada malam itu berlangsung sampai tengah malam.


“Bapak bisa bantu, asalkan kalian juga ada usahanya. Bapak melihat ada potensi dalam diri kalian. Jadi, kenapa tidak? Saya juga dapat info kalau ada lomba seni tingkat nasional, karya terbaik akan dipajang di galeri seni kota. Kalian mau ikut?” Tanya Pak Adrian sang kepala sekolah sembari tersenyum menatap siswa-siswanya.“Wah, kesempatan emas ini, Pak. Sudah pasti kita bertiga akan ikut. Terima kasih banyak, Pak”.“Baiklah, sebentar bapak akan daftarkan. Untungnya juga, bisa berkelompok loh”.“Aku senang banget tau ga? Benar-benar deh, Tuhan tuh baik banget.” Ucap Awan dengan sedikit keras membuat siswa-siswa lain di sekitar mereka menatap ketiganya.“Jangan keras-keras hei. ”Bisik Dika pada Awan yang tak peduli dengan yang lainnya sedangkan Ezra dan Dika malu dengan kelakuan temannya yang selalu heboh di setiap saat.“Iya, iya. Ayo cepat, kalian jalannya lambat banget. Keburu bel nanti.” Awan mengejek keduanya dan berlari ke kelas sembari tertawa karena tahu mereka marah.“Awan!” Teriak keduanya sambil mengejar Awan.


Ezra dan Awan datang ke rumah Dika untuk berdiskusi lagi tentang lombanya. Kali ini, Awan datang lebih awal dari Ezra. Dika saja terkaget-kaget.“Karena Pak Adrian sudah mendaftarkan kita, sekarang tinggal lukisannya, kan?”“Benar, Pak Adrian juga sudah memberikan aturannya. Untungnya, temanya bebas jadi kita terserah mau buat apa.“Bagaimana kalau tentang kesehatan mental? Abstrak. Pesannya harus tersampaikan dengan baik,” Usul Awan.“Boleh, boleh. Kalau aku sih setuju. Kalau Ezra?” Tanya Dika pada Ezra yang sedang berpikir keras.

“Aku juga setuju. Sekarang kesehatan mental remaja lagi gak baik banget. Jadi, kita beritahu orang-orang melalui lukisan kita. Wah, ide aku keren banget. Iya, kan?” Ucap Ezra yang mulai kepedean. Dika dan Awan hanya menghela napas.“Buatnya kapan? Malam ini mau? Aku bawa peralatannya kok”.“Rajin banget, Wan. Aku saja tidak bawa.”“Tidak apa-apa. Pakai punyaku saja, Ra. Oh iya, kanvasku juga masih ada. Mau ukuran berapa?” Dika beranjak dari sofa ke ruang lukisnya untuk mengambil peralatan.

“Yang 1 x 1 meter ada?”“Ada, lima malahan.” Teriaknya sembari mencari kanvas dan mengambilnya beserta peralatan lainnya.“Banyak sekali, Dika. Kau mau apa beli sebanyak itu?”Dika kembali ke ruang tamu dengan peralatan tapi ia terlihat kesulitan. Awan mendekat dan membantu Dika.“Aku juga tidak tau.”Ucapnya mengangkat bahu. Namanya orang kaya. Apa-apa diborong.

Mereka mulai menentukan lukisannya ingin seperti apa. Sekitar tiga puluh menit berlalu, mereka akhirnya telah menentukannya. Sketsa dibuat oleh Awan, pewarnaan dilakukan oleh Ezra, dan penyempurnaan dikerjakan oleh Dika. Lukisannya pun selesai. Mereka semua begitu fokus sampai-sampai tidak terasa kalau sudah dini hari.


Mereka bertiga menamai lukisan tersebut “Runtuh”. Mengapa? Karena lukisan ini menggambarkan seorang remaja laki-laki yang isi pikirannya terpenuhi oleh beban-beban yang ia dapatkan dari lingkungan sekitarnya. Seperti sekolah dan keluarga. Nilai-nilainya di sekolah normal-normal saja, tapi selalu ditekan oleh orang tuanya agar menjadi “sempurna”. Entah sudah berapa banyak perjuangannya, tetapi di mata orang tuanya itu semua tidak cukup. Kesehatan mentalnya mulai memburuk. Nilainya menurun, tidak peduli lagi dengan ocehan-ocehan orang tuanya. Muncullah pikiran yang tidak-tidak.

Pak Adrian takjub dengan karya mereka. Beliau sampai tak bisa berkata-kata. Apakah ada yang salah? Apakah terlalu simpel? Apakah pesannya tidak tersampaikan? Pikiran mereka mulai ke mana-mana.“Saya takjub sekali! Saya pastikan kalian akan menang.”“Anda terlalu berlebihan, Pak.” Ucap Dika tersenyum pada beliau.“Kalau karya ini dilelang, pasti akan sangat mahal. Nanti saya kumpulkan lukisannya pada panitia lomba.””Baik, Pak. Terima kasih.” Mereka keluar dari ruangan Pak Adrian dan menunggu jemputan masing-masing di aula sekolah.

“Eh, aku dengar katanya Meli juga ikut lombanya, itu benar atau rumor?” Tanya Awan pada Ezra dan Dika.“Setahuku sih, iya, tapi bukannya dia gak bakat dalam seni?”“Hei, tidak boleh begitu, Ra. Mungkin saja dia ada bakat tapi tidak pernah memperlihatkannya pada yang lain.” Sela Dika yang sedang duduk pada kursi sembari menutup mata.


“Kenapa jadi begini lukisannya?” ucap Awan sambil melihat-lihat lukisan mereka yang terkena cat berwarna terang dengan panik.

“Saya juga tidak tahu, Nak. Padahal kemarin bapak simpan baik-baik sebelum pulang ke rumah. Maafkan bapak.”

“Tidak apa-apa, Pak. Kita akan cari solusi secepat mungkin. Saya izin bawa pulang lukisannya dulu untuk diperbaiki.” ucap Dika mengambil lukisan.

“Baik, Nak, tapi kalian harus cepat, karena besok hari terakhir pengumpulan karya”.

Dika menelan ludah, ia khawatir tidak bakal sempat selesai hari ini. Namun, ia tetap berpikiran positif.

“Baik, Pak. Kami pamit dulu kalau begitu.”Mereka keluar membawa lukisan tersebut. Seharian, mereka tidak fokus dengan pelajaran karena permasalahan itu. Ketiganya berencana untuk menyelesaikannya di rumah Dika.

  • Bagikan

Exit mobile version