Baca Cerpen Untuk Hidup, Dua Remaja Mempertanyakan Arti Kehidupan

  • Bagikan

KEKER.FAJAR.CO.ID – Malam ini aku berdiri di depan banyak gedung yang menjulang tinggi, di bawah langit malam yang tak menampakkan bintang, juga di tengah hiruk pikuk kota yang masih sibuk dengan banyaknya manusia.

Pertanyaan muncul di benakku. Apa di antara mereka ada yang seperti diriku? Apa di antara mereka ada yang benar-benar lelah dengan hidup dan ingin mengakhirinya seperti yang akan kulakukan saat ini? Mustahil untuk aku tahu jawabannya, hanya saja kepalaku penuh dengan banyak hal. Hal itu sudah terlalu berat hingga membuat aku sampai pada keputusan untuk mengakhiri hidup. Alasanku berdiri di atas gedung tinggi ini hanya karena aku ingin melarikan diri dari takdir yang harus aku jalani.

Air mataku terus mengalir, memikirkan alasanku sampai di tempat ini. Semua luka yang aku dapatkan anehnya mulai terbayang. Tentang bagaimana aku hidup di keluarga yang hancur berantakan. Tentang bagaimana putus asanya aku menggantikan kakakku yang telah pergi dan hidup sebagai dirinya hanya karena Ibuku tidak siap kehilangan. Juga tentang bagaimana rasa benciku pada ayah yang terus saja membawa banyak wanita di rumah, hanya karena ibu seperti orang yang kehilangan kesadarannya.

Aku tidak bisa mendapat jawaban untuk pertanyaan kenapa aku yang menerima takdir ini. Sebenarnya aku juga tidak ingin mengetahui itu, karena semua tidak akan berubah. Hidup mengerikan ini akan tetap aku jalani dengan harapan bahwa suatu saat aku akan berhasil melewatinya. Namun, untuk saat ini aku tidak lagi ada keberanian untuk melanjutkan kehidupanku yang mengerikan.

Malam ini aku terlihat begitu menyedihkan. Tatapanku kabur karena air mata, layaknya aku melihat hidup yang tidak jelas arahnya. Semuanya buram, persis seperti terjebak di terowongan tidak berujung.

Saat kedua kakiku sudah bergerak untuk membuang diriku ini. Sebuah suara yang cukup samar menyapa telingaku, dan membuat aku berhenti sejenak dan melihat siapa pemilik suara itu. “Kenapa di antara banyak gedung yang lebih tinggi di sekitar sini, kamu memilih untuk loncat di gedung ini?” tanyanya lagi tapi tidak aku tanggapi. Dia adalah seorang gadis yang menggunakan baju pasien. Gedung tempatku berdiri adalah sebuah rumah sakit.

Aku hanya bisa menatapnya yang juga menatapku. “Kamu pasti takut, kan. Padahal banyak gedung yang lebih tinggi, tapi kamu takut untuk jatuh dari sana. Jadi kamu memilih gedung ini karena lebih pendek. Bukankah begitu?” Senyum tipis terbit di bibirnya yang pucat. “Apa pedulimu?” jawabku merasa sedikit marah dengan ucapannya.

“Aku memang tidak begitu peduli. Tapi aku ini manusia biasa, bukan hal yang wajar kalau aku membiarkan kamu mati di depanku.” Jawabannya membuat aku merapatkan bibir. Tangan kurus itu bergerak ke atas untuk memegangku. Gadis itu menawarkan sebuah tangan untuk aku pegang lalu berkata. “Bagaimana kalau kita mengobrol?” tanyanya dengan senyuman.

Aku tidak menerima uluran tangannya, aku sedang tidak ingin berbicara dengan orang lain. Lagi pula aku ke sini untuk mengakhiri hidupku, untuk apa aku berbicara dengan orang lain? Itu semua hanya akan memberiku beban yang lebih lagi.

Kulihat dia membuang wajahnya ke arah lain. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. “Aku cuma mau kamu tahu perasaan orang yang mungkin besok udah mati,” tuturnya setelah lama menimbang.

Aku tertegun mendengar ucapannya. Entah kenapa kata mati membuat aku malah ingin berbicara dengan orang yang bahkan tidak kuketahui namanya itu. “Anggap saja percakapan antara orang yang mau mati sama orang yang berharap hidup. Aku rasa akan sangat menyenangkan,” lanjutnya berusaha meyakinkanku.

Akhirnya aku setuju dan mengikutinya untuk berbincang di sudut atap gedung ini. Kami berdua duduk bersampingan. Aku hanya diam, membiarkan dia berbicara apa yang ingin ia bicarakan. Mataku terus tertuju pada langit yang ternyata terdapat satu bintang kecil di antara gelapnya awan.

“Aku mungkin mati malam ini, besok atau lusa. Enggak ada yang tahu hal itu selain Tuhan.” Akhirnya ia mulai berbicara.

Aku berbalik untuk menatapnya yang juga sibuk memandangi satu bintang itu, bisa kulihat matanya berbinar. Mata itu tidak pernah kulihat dari diriku selama ini, aku tidak pernah begitu bahagia melihat atau bertemu sesuatu.

“Boleh aku lihat tangan kamu?” tanyanya. Namun, karena aku tetap diam. Dia tanpa persetujuan mengambil tanganku dan menyingkap lengan panjang itu sampai di atas bagian lengan atasku. Di kedua lengan bawahku ada banyak sekali goresan yang kering juga masih terlihat baru. Dia menatapku kemudian menunjukkan kedua lengannya juga.

Sama, lengan dia pun terdapat banyak sekali bekas goresan. “Ini mungkin sejak aku tahu kalau hidup aku enggak akan lama lagi, aku terus-terusan lukain diri karena enggak terima kalau aku sebentar lagi mati. Aku divonis dengan penyakit serius.” Aku tidak tahu kenapa dia mengatakan hal seperih itu dengan senyuman dan tawa kecilnya.

  • Bagikan