Mulut Matcha di bekap oleh Latte. “Satu persatu dong pertanyaannya.”
Matcha menepis tangan Latte dari bibirnya lalu menatap kesal cowok itu. Matanya terlihat sinis menandakan gadis itu sedang ngambek.
Sontak Latte tertawa. Tangannya bergerak naik mengusap kepala Matcha. “Lo butuh kehangatan, gak mungkin juga gue biarin lo kedinginan gitu aja,” jawabnya dengan tulus.
Diam-diam Matcha menerbitkan senyumnya. Tipis namun Latte bisa melihat jelas senyuman itu. Tak lagi tertawa, kini dia membalas senyuman Matcha.
Hatinya berdesir melihat senyuman gadis itu. Sama saja ia melihat senyuman Mamanya. “Lo cantik kalau lagi senyum, pasti banyak yang suka sama lo.”
Salah satunya gue, hanya itu yang bisa Latte katakan dalam hatinya.
“Emangnya iya? Banyak yang suka sama aku? Tapi maaf, aku gak percaya. Aku gak percaya lagi sama omong kosong orang-orang yang selalu bilang kalau banyak yang suka sama aku.”
Dua kali Latte dibuat terhenyak sama gadis itu. Ia menatap tak percaya, karena baru kali ini ia bertemu dengan manusia seperti Matcha. Perempuan yang ketika dipuji malah menganggap pujian itu dengan kalimat omong kosong.
Omong kosong darimananya? Teman kelasnya saja menyukai gadis itu. Lalu salahnya di mana?
“Aku memang gak seperti yang kamu pikirkan. Aku berbeda dengan perempuan di luar sana karena aku pernah dilukain dengan kalimat-kalimat itu. Makanya sekarang aku hanya menganggap ucapan kamu itu omong kosong. Aku sudah kebal yang namanya kalimat itu, Lat,” kata Matcha yang kini menunduk. Gadis itu meremas jari-jarinya.
Kalimat Latte membuat lukanya kembali terbuka. Luka dimana ia menerima semua perkataan baik tapi aslinya mengejek. Matcha tidak menyukai kalimat itu lagi. Meskipun kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi jauh di lubuk hatinya ia terluka mendengar itu.
Karena sama saja ia mendengar hinaan dari orang-orang. Dan hal itulah yang membuat dia tidak percaya diri dengan dirinya.
Latte menaikkan dagu Matcha untuk kembali ke hadapannya. Ia menatap sendu gadis itu ketika mendapati air matanya turun ke pipinya.
Matcha pun sempat terdiam saat menyadari kalau ia tengah menangis dihadapan Latte. Tapi dengan senyuman yang selalu terbit, ia berusaha bersikap baik-baik saja. Seolah ia melupakan kalimat Latte tadi.
Tangan Latte bergerak naik untuk mengusap air mata gadis itu. “Lo bilang kayak gitu sama gue karena lo pernah dilukain sama orang-orang kan? Perkataannya lembut dan halus tapi bagi lo terkesan menghina? Kalau lo mikir begitu lo salah. Mereka bukan menghina tapi mereka iri liat diri lo. Lo cantik apa adanya, lo pintar, lo sempurna, makanya mereka iri sama lo.”
Matcha tertegun. Perkataan Latte memang benar, tapi beda lagi kalau Latte sendiri yang merasakannya. Pasti Latte gak akan kuat saat menghadapi semua omong kosong itu, pasti Latte akan insecure pada dirinya dan pasti Latte tidak akan suka lagi mendengar perkataan itu.
Seolah tahu isi pikiran Matcha, Latte tersenyum. “Gue juga sama halnya dengan lo. Gue pasti bakalan ngerasain sakit saat ada di posisi lo. Tapi bukan berarti semua pujian yang orang-orang berikan sama gue, gue anggap omong kosong, gue anggap hinaan bagi diri gue. Gak selamanya perkataan itu menyakitkan, penghinaan, nggak Cha.”
“Kalau lo kayak gitu terus menerus, yang ada lo semakin menambah luka lo sendiri. Bukan orang-orang yang nambah luka lo, tapi diri lo yang akan menambah luka itu. Jadi sekarang, lo harus berhenti untuk nganggap perkataan orang-orang itu sebagai hinaan untuk diri lo.”
“Percaya sama gue, banyak yang suka sama lo, apalagi gue.”
Meskipun nadanya pelan, tapi Matcha mendengar kata terakhir yang Latte ucapkan. Apa dia bilang? Latte suka padanya? Apa ia tak salah dengar?
“Lo gak salah dengar, Cha. Gue emang suka sama lo. Tapi sebelum lo suka sama gue, lo harus cintai diri lo dulu, lo harus sembuhin luka dulu baru gue bisa percaya bahwa lo benar-benar suka sama gue.”(*)
Valina Afida Aprilia PMAN 2 Kota Makassar@vlnafdap_